Batas Wilayah Maritim Diawal Kemerdekaan
Wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Marauke dengan ribuan gugusan pulaunya. Hampir dua pertiga dari keseluruhan wilayah negara Indonesia didominasi lautan dengan segala macam kekayaan alam di dalamnya yang dapat diolah dan dimanfaatkan. Namun, untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di lautan perlu mengenali batas-batas wilayah negara yang sudah menjadi kesepakan baik secara spasial maupun secara hukum. Indonesia menjadi negara merdeka sejak diproklamirkannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tentunya, Indonesia sudah memiliki wilayah negara dengan batasan-batasannya termasuk untuk wilayah perairan laut.
Secara hukum internasional, wilayah Negara Indonesia meliputi bekas jajahan Hindia Belanda yang mengikuti Ordonansi “Territoriale Zee En Maritieme Kringen Ordonantie 1939” dinyatakan bahwa batas teritorial Negara Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis pantai masing-masing pulau. Itu artinya setiap pulau mempunyai wilayah teritorial di laut sendiri-sendiri selebar 3 mil dari garis pantai. Perairan yang terletak diantar pulau-pulau setelah 3 mil adalah laut bebas atau laut internasional sehingga negara mana saja dapat melintas wilayah internasional tanpa harus minta izin kepada negara Indonesia.
Wilayah kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan yang utuh sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 25A UUD Tahun 1945. Namun dalam kondisi seperti itu, maka wilayah negara Indonesia tidak merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh melainkan wilayah yang terpisah-pisah anatar satu pulau dengan pulau lainnya karena diantara pulau-pulau bagian wilayah Indonesia merupakan laut internasional. Sehingga, laut diantara pulau-pulau bukan merupakan pemersatu namun sebagai pemisah.
Dengan melihat kondisi yang seperti itu, tentu sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia karena tidak menjadi satu kesatuan yang utuh.
Perdana Menteri Djuanda Pelopori Konsep Negara Kepulauan
Pada tanggal 13 Desember 1957, Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan peraturan pemerintah yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda dengan menyatakan bahwa: "Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Indonesia adalah wilayah kedaulatan mutlak NKRI dengan batas teritorial ditetapkan 12 mil laut dari pulau terluar wilayah NKRI". Dalam Deklarasi Djuanda pada intinya menyatakan bahwa prinsipnya adalah mempersatukan wilayah darat dan wilayah laut negara Indonesia menjadi satu kesatuan utuh NKRI meliputi; satu kesatuan wilayah, satu kesatuan bangsa, satu kesatuan budaya, satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan pertahanan-kemanan. Konsep tersebut sekarang lebih dikenal dengan Wawasan Nusantara.
Meski Deklarasi Djuanda merupakan pernyataan sepihak tapi dikuatkan dengan UU. No.4/Prp.1960 yang merubah ordonansi 1939. Ada dua hal penting yang perlu dicatat dari Deklarasi Djuanda bahwa: 1) garis pangkal normal menjadi garis pangkal lurus, 2) lebar teritorial yang tadinya 3 mil dirubah menjadi 12 mil dari garis pantai (surut terendah). Akibat dari dua ketentuan tersebut maka luas wilayah teritorial NKRI berubah dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193.025 km2.
Perjuangan Mendapatkan Pengakuan Internasional Konsep Wawasan Nusantara
Melalui konvensi hukum laut (UNCLOS I) tahun 1958 dan UNCLOS II tahun 1960 telah diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan secara internasional tentang konsep wawasan nusantara, meski pada saat itu hasilnya belum diakui. Konsep Wawasan Nusantara mendapat tentangan dari negara maju: Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, dan Selandia Baru. Peserta konferensi menganggap konsep Archipelago State masih perlu dikaji. Namun ada 3 hal yang diakui: 1) penarikan garis pangkal lurus diakui sebagai metode penarikan garis pangkal laut teritorial disamping garis pangkal biasa (normal base line= low water), 2) memberikan hak kepada negara pantai untuk melaksanakan hak berdaulatnya (sovereign right) pada zone tambahan (contigoues zone). Pada UNCLOS III (1982) setelah mlalui perjuangan diplomasi yang gigih tanpa henti akhirnya konsep Negara Kepulauan diakui secara internasional.
Setelah mendapatkan pengakuan tersebut, Indonesia meratifikasi UNCLOS III pada 31 Desember 1985 melalui UU No.17 tahun 1985. Sebagai tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
Sesuai dengan ketentuan UNCLOS III, walaupun wilayah perairan diantara pulau-pulau milik Indonesia sudah menjadi wilayah teritorial, namun Indonesia tetap harus memberi hak kepada negara lain untuk melintas secara damai di wilayah perairan kedaulatan Indonesia. Oleh sebab itu dibuatlah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur bagi negara lain untuk melintas secara damai di wilayah kedaulatan Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment
Bilaman ada gambar/foto/file dalam beberapa postingan yang juga terdapat pada alamat web lain adalah mutlak hak milik dari sumber utama yang bersangkutan. Silahkan tinggalkan komentar, kritik, dan saran yang membangun. Terimakasih...